History of writing

Menulis adalah suatu kegiatan untuk menciptakan suatu catatan atau informasi pada suatu media dengan menggunakan aksara.
Salah satu contoh awal kegiatan menulis

Menulis biasa dilakukan pada kertas dengan menggunakan alat-alat seperti pena atau pensil. Pada awal sejarahnya, menulis dilakukan dengan menggunakan gambar, contohnya tulisan hieroglif (hieroglyph) pada zaman Mesir Kuno.

Tulisan dengan aksara muncul sekitar 5000 tahun lalu. Orang-orang Sumeria (Irak saat ini) menciptakan tanda-tanda pada tanah liat. Tanda-tanda tersebut mewakili bunyi, berbeda dengan huruf-huruf hieroglif yang mewakili kata-kata atau benda.

Kegiatan menulis berkembang pesat sejak diciptakannya teknik percetakan, yang menyebabkan orang makin giat menulis karena karya mereka mudah diterbitkan.


 Cerita yang singkat dari Blog ini :

 

Menulis Itu Seperti Jalan Pedang


Salah satu Team penulis Ahmad News

Jalan hidup seseorang sukar ditebak. Clara Regina Juana--terkenal dengan nama Clara Ng--mengalaminya. Meski sejak sekolah menengah pertama ia sudah gemar menulis, tak pernah terpikir ia bakal menjadi penulis. Dorongan menulis kembali muncul setelah ia berhenti dari pekerjaannya sebagai manajer sumber daya manusia di sebuah perusahaan pelayaran karena kehilangan calon bayinya yang berusia tujuh bulan. "(Menulis) itu untuk terapi diri saya," kata ibu dua anak ini.

Sejak itu, karier menulisnya berjalan mulus. Ia bahkan ditabalkan sebagai novelis yang memelopori genre metropop. Novel trilogi Indiana Chronicle pada 2004 diterima di pasar hingga dicetak ulang beberapa kali.
Kesuksesan itu tak memadamkan kegelisahan lain Clara. Ia merasakan anak-anak tak mendapat bacaan yang berlimpah. Kalaupun ada, menurut dia, kebanyakan bermuatan pesan moral yang tidak memberikan keleluasaan bocah berfantasi.
Karena itulah ia menulis buku cerita anak-anak sejak empat tahun lalu. Buku cerita itu dipenuhi ilustrasi hewan, agar disukai anak-anak. Tapi Clara tak sekadar menulis cerita biasa. Salah satunya mengenai dukacita anak-anak. "Agar memberikan rasa empati kepada anak jika temannya sedang bersedih," kata dia kepada Istiqomatul Hayati, Akbar Tri Kurniawan, dan fotografer Arnold Simanjuntak dari Tempo pada pertengahan bulan ini di salah satu pertokoan mewah di Jakarta Barat.


Mengapa Anda beralih dari novelis pelopor genre metropop menjadi penulis cerita anak-anak?
Buku cerita anak-anak Indonesia menjadi kegelisahan saya. Saya merasakan anak-anak Indonesia kurang mendapat perhatian karena terbatasnya buku anak-anak saya.
Ketika kuliah, saya senang membaca cerita anak. Setiap ke toko buku, saya selalu ke bagian buku anak-anak. Saya baca mulai dari tekstur buku, cerita, gambarnya, luar biasa. Jadi saya berpikir kapan kita bisa seperti ini. Ketika saya kecil, bacaan hanya Bobo, yang lain buatan luar negeri. Khususnya buku anak-anak, kita tidak terlalu kaya.

Apa yang terpikir pertama kali ketika ingin menulis buku cerita anak-anak?
Saya berpikir menulis cerita anak-anak itu harus menarik, edukatif, tidak menggurui, serta gambarnya bagus, yang disukai anak. Anak-anak itu senang pada gambar hewan. Saya menghubungi ilustrator yang juga teman saya saat kuliah. Responsnya bagus.
Buat saya, membuat cerita anak tidak bisa ditulis begitu saja, harus ada konsepnya. Saya presentasikan di depan editor Gramedia. Saya sendiri ingin melihat reaksi editor, dan mereka juga ingin melihat reaksi pasar. Rupanya bagus. Pasarnya di ASEAN.

Anda tidak khawatir dengan ide cerita yang tidak biasa itu?
Sebenarnya saya agak khawatir menulis cerita anak. Pertama, takut tidak diterima pasar, kedua, harga buku yang mahal. Perekonomian kurang membaik, orang tua lebih mengutamakan papan, sandang, dan pangan, beli buku prioritas yang kesekian. Jadi cerita anak yang pertama sifatnya sederhana. Lebih pada menghibur.

Bagaimana respons anak-anak sendiri?
Ketika buku pertama bergambar hewan itu keluar, responsnya bagus.
Ada satu kelas meminta tanda tangan. Ibu guru dari Papua juga menghubungi saya. Ini saya lakukan sejak 2006. Kami merencanakan ada tujuh seri cerita, kami buat tiga seri dulu, Berbagi Cinta Berbagi Cerita.

Dari judulnya, agak abstrak, ya, untuk dibaca anak-anak?
Ya, tapi, dengan membaca, anak-anak tetap bisa mengambil nilai. Buku kedua, Sejuta Warna Pelangi, ada sedikit idealisme. Misalkan saat anak kudanil cerita kepada rekannya bahwa dia bisa terbang, rekannya tidak percaya, gurunya pun menganggap dia berbohong. Lalu datang si kakek yang lebih bijak. Kakek mengatakan, "Rupanya kamu sudah tahu rahasia terbang." Lalu sang kakek terbang dan ternyata di angkasa mereka bertemu dengan hewan-hewan yang terbang. Intinya, jika anak-anak senang, mereka bisa "terbang".

Anda yakin anak-anak mampu menangkap pesan Anda?
Ketika saya begitu yakin pada buku yang kelima, saya mulai memasukkan satu-dua cerita. Gambarnya bagus, dan ilustrasinya banyak dipuji oleh para ilustrator. Tidak ada moral advice story (catatan tentang nilai moral yang disampaikan buku) dan ceritanya kiasan semua. Buku ini membantu orang tua dekat dengan anaknya. Buku ini multi-interpretasi, bagaimana pandangan anak dan bagaimana orang tua menginterpretasi cerita ini.

Apa ada yang berkeberatan?
Saya banyak menerima keberatan, terutama saat bertemu dengan guru dan orang tua murid. Guru tidak mengerti. Mereka kebanyakan menuntut ada moral advice story. Ada guru yang datang kepada saya saat diskusi. Dia minta usulannya saya terima untuk menuliskan moral advice story pada buku agar mereka bisa mudah menyeleksi dan menangkap maksudnya.

Anda menerima?
Saya menekankan kepada mereka betapa pentingnya mendongeng tanpa menekankan moral advice story. Biarkan setiap anak diberi kesempatan untuk berpendapat masing-masing tanpa perlu diajari, sehingga fantasi mereka semakin kaya dan semakin berspektrum.

Penjelasan Anda itu mereka terima?
Buku itu adalah alat. Bagaimana orang tua memberikan batasan-batasan yang jelas kepada anak, mana yang imajinasi dan yang bukan. Ada orang tua yang berkata, "Bagaimana kalau anak saya, setelah membaca, pergi ke atas dan lompat." Saya jawab, banyak buku-buku seperti Superman yang juga menginspirasi untuk terbang. Orang tua harus mendampingi. Saya selalu berkeinginan bahwa buku-buku saya harus dibeli oleh orang tua. Orang tua harus tahu anak-anak itu membaca buku apa dan bermain apa. Merekalah yang harus memutuskan buku apa yang harus dibeli.

Cerita seri ketiga Anda tentang dukacita, apakah pengalaman pribadi?
Ya. Buku ini memang lebih berat lagi, judulnya Bagai Bumi Berhenti Berputar. Ada lima cerita, isinya tentang perceraian, kematian, pindah sekolah. Saya menilai tidak ada buku yang menyampaikan kepada anak-anak bahwa kesedihan itu ada. Saya punya sepupu ditinggalkan ibunya sejak bayi. Dia baru tahu ibunya meninggal ketika SMP. Menurut saya, itu sangat telat. Tugas orang tua bukan menutupinya, tapi membuat anak-anak cukup peduli. Anak-anak perlu pendampingan, dan hal ini terjadi tidak hanya di kota besar. Itu harus disampaikan dengan bahasa anak-anak yang tidak ruwet dan kompleks. Tujuan buku ini menjadi jembatan orang tua dengan anak dan juga memberi rasa empati kepada anak itu apabila temannya sedang mengalami dukacita.

Kompleksitas itukah yang membuat buku Anda diterima penerbit?
Saya sudah kasih tahu sejak awal kalau saya akan menulis cerita seperti ini. Saya awali dengan cerita pohon harapan. Misalkan tentang anak kecil yang memiliki adik berpenyakit kanker. Akhir cerita bukan kesembuhan adiknya, tapi lebih pada memupuk harapan. Saya juga tidak memakai kata perceraian, tapi perpisahan.

Anda memasukkan tentang pendidikan seks?
Belum terpikirkan. Itu bagus sekali dibuat dalam cerita fiksi. Selama ini pendidikan seks dalam bentuk non-fiksi.

Anda belajar menulis dari siapa?
Belajar sendiri, banyak membaca. Banyak sekali buku saya, hampir seribuan.

Saat kuliah di Amerika sudah terpikir hendak menulis?
Saya tidak pernah berpikir untuk menjadi seorang penulis. Ketika kecil, saya pernah menulis tidak punya cita-cita. Gara-gara itu, saya dipanggil oleh guru. Saat itu belum ada informasi yang bisa membantu kita mau jadi apa. Kuliah di Amerika memperluas cakrawala, cara berpikir, hingga menjadi penulis seperti sekarang. Tapi saya memang senang membaca dan menulis.

Sewaktu menjadi HRD manager, Anda sudah gemar menulis?
Ya. Kami ada internal memo. Karyawan itu menuliskan laporan apa. Lalu disebarkan. Saya suka menulis memo itu dengan renungan, lalu saya kirim kepada staf saya biar semangat. Tapi staf saya mem-forward lagi ke mana-mana sehingga internal memo itu dibaca oleh direksi. Saya senang.

Peristiwa apa yang mendorong Anda untuk menjadi penulis seperti sekarang?
Dorongan kuat muncul pada tahun 2000 ketika bayi saya meninggal. Saya berhenti kerja. Saya mengalami turbulensi hidup yang amat dahsyat. Dunia saya berantakan, saya mengalami dukacita. Saya berhenti dari HRD manager. Saya ingin ada waktu untuk diri saya, sekaligus mau mengecek ada apa dalam tubuh saya. Suami juga bilang saya perlu rehat. Selama proses itu, saya mengembalikan passion saya, yaitu menulis. Itu untuk terapi diri saya, akhirnya keluar novel pertama saya, Tujuh Musim Setahun. Setelah itu enggak bisa berhenti.

Sebenarnya soal penulis ini, saya merasa belum layak (disebut penulis) sampai saya menulis lebih dari beberapa novel. Boleh dibilang saat itu saya penganggur. Selama itu saya menulis. Ketika menulis pertama kali tidak terlalu dianggap. Dan saat itu belum banyak pengarang. Ketika buku-buku saya akhirnya diterbitkan oleh Gramedia, saya senang karena impian saya tercapai. Suami juga senang. Novel itu sudah dicetak 5.000 eksemplar dan sekarang sudah empat kali cetak, itu trilogi.
Lalu saya mulai diminta menulis cerpen dan artikel di koran-koran. Hingga akhirnya, mungkin pada 2007, saya mulai merasa, oh, ya, ini memang pekerjaan saya dan karier saya.

Mengapa Anda mengaku agak kesal jika ditanya apakah sebagian karya itu dari pengalaman pribadi?
Sayang sekali kalau menulis hanya dari pengalaman pribadi karena pengalaman pribadi akan habis. Tapi tidak tertutup kemungkinan bahwa inspirasi dari karya-karya penulis itu digali dari pengalaman pribadi. Misalkan saya jatuh cinta, ya, itu pengalaman pribadi yang enggak perlu ditulis. Tapi pengalaman pribadi itu bisa berarti saya mendengar dari pengalaman orang lain. Cerita itu di mana-mana, setiap (pengalaman) orang bisa memiliki cerita.

Awalnya Anda pekerja kantoran. Kenapa akhirnya memutuskan menjadi...?(Tertawa) Bagi saya, menulis itu seperti jalan pedang. Para penulis itu tidak ada bedanya dengan samurai. Di Jepang, samurai ada untuk membela kaum yang papa, ditindas. Jadi seorang penulis harus memiliki semangat itu. Menulis adalah pekerjaan pedang, harus ada keberpihakan yang besar kepada mereka yang dibungkamkan dan tidak mendapat tempat bersuara.

Karya saya, di luar karya anak-anak, ada cerita pendek yang sarat pembelaan terhadap masyarakat yang memiliki masalah sosial akut. Jadi saya tidak punya keinginan membela kaum lemah, itu berproses. Teman-teman saya melakukan itu karena mereka tahu saya bisa terbang. Entah ini takdir atau karena saya perempuan, sehingga persoalan sosial ini mengkristal pada diri saya. Antara takdir dan keputusan saya itu sudah campur aduk.

Apa problem sosial yang menggelisahkan Anda?
Sebenarnya perasaan itu sudah ada sejak saya masih remaja. Waktu itu menulis buat saya sekadar hobi saja. Ibarat api, cuma butuh korek api ssrrkkk... nyala. Saya terusik oleh ketidakadilan yang dialami kaum terpinggirkan, seperti pekerja seks, lesbian, gay, transgender, biseksual, kaum minoritas etnis Cina di Indonesia, isu-isu tentang kaum perempuan, dan juga anak-anak.

Anda pernah mengalami diskriminasi?
Dulu, waktu kecil, saya suka diledek. Tapi saya bangga sebagai orang Indonesia. Rasa patriotisme saya makin besar justru setelah menikah dengan orang Malaysia.

Bagaimana Anda bertemu dengan suami yang orang Malaysia itu?
Ha-ha-ha.... Saya ketemu suami di kantor (saat bekerja di bidang pelayaran). Dia tamu bos saya. Dia sering datang (ke kantor). Suatu hari saya lihat dia ngobrol dengan salah satu manajer keuangan di pintu ruangan saya. Mereka tidak sadar dan tidak sengaja menghalangi saya masuk. Obrolan mereka seru. Saya tungguinsingle, lalu saya ditawari mau tidak. Saya jawab mau. Ternyata dia juga bertanya tentang saya. Meski sama-sama kerja di sana selama dua tahun, kami tak pernah kenal. Tahunya pas kejadian itu. Kami langsung kencan. Enam minggu saya langsung dilamar. Ibu saya mau pingsan (tertawa). Kayak sinetron, tapi beneran. Orang tua merestui, sesuai dengan kriteria kayaknya, tahun ini usia pernikahan saya 10 tahun.

Bagaimana masa kecil Anda?
Saya besar di kawasan Kemayoran (Jakarta Pusat). Saya kerap mendengarkan cerita dari ibu. Bahkan saat saya masih bayi, ibu sudah melanggankan saya (majalah) Bobo. Kegilaan saya membaca sudah dulu. Sejak taman kanak-kanak saya sudah bisa membaca. Mereka baru bisa membaca lancar, saya sudah belajar Tintin. Saya membaca Tintin karena sepupu saya pindahan, barangnya dititipkan di rumah. Saking senangnya saya membaca, ibu sampai melapor kepada guru saya. Saya suka membaca, apa pun bukunya. Dulu mendapatkan satu buku sulit ketimbang sekarang. (Masa kecil) saya tidak terlalu istimewa. Hanya, bacaan saya lebih berat ketimbang teman seusia saya.

Ingat judul seri Tintin apa saja yang dibaca?
Saya membaca Tintin yang Patung Kucing Belang, Mendarat di Bulan, dan Zamrud Castafiore. Ini benar-benar teringat dan membekas di pikiran saya. Saya mulai baca (karya) Mira W. itu bahkan umur 9-11 tahun.

Siapa penulis yang karyanya membuat Anda gemar membaca?
Herge (nama pena Georges Prosper Remi [1907-1983], seniman dan penulis komik Belgia, pencipta Tintin

Perjalanan kepenulisan Anda sekarang?
Beberapa novel saya ada yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, ada juga yang berbahasa Jerman. Beberapa hari lalu saya terima surat dari orang Jepang yang membaca novel saya,
saja, lama-lama saya perhatikan cowok itu cakep juga. Setelah mereka bubar, saya temui manajer keuangan, saya tanya siapa cowok itu. Si manajer malah bilang dia masih yang mengenalkan cerita fiksi dalam bentuk komik.Padi Merah Jambu. Dia lagi meriset tentang Dewi Sri, jadi dia menghubungi saya.

Anda merasakan kesuksesan secara materi menjadi penulis?
Secara materi, penulis menghasilkan banyak sekali buat saya. Saya bisa pergi ke luar negeri, tapi (royalti) tidak sampai miliaran, tapi ratusan juta dapat (tertawa).