San Fransisco - Paul si gurita, peramal berkaki delapan yang jitu menebak juara Piala Dunia, bukanlah satu-satunya cephalopoda berbakat di laut. Gurita peniru Indonesia, yang dapat menyamar seperti ikan sebelah dan ular laut untuk mengusir predator yang berani mendekat, memiliki bakat yang jauh lebih mengagumkan.
Dengan mengatur kaki-kakinya, memperlihatkan pola warna mencolok, serta mengadopsi gerakan naik-turun seperti gelombang, gurita peniru (Thaumoctopus mimicus) dapat menyerupai tak hanya satu binatang laut lainnya, tapi juga hingga 13 spesies berbeda. Beberapa jenis binatang tersebut adalah organisme beracun yang ditakuti hewan pemangsa gurita.
Kini, sejumlah ilmuwan dari California Academy of Sciences di Los Angeles, Amerika Serikat, dan Conservation International Indonesia berhasil mengungkap rahasia bagaimana gurita tersebut memiliki kemampuan mimikri--mengubah warna dan bentuk tubuhnya--untuk meniru ular laut sampai ikan pari. Berdasarkan analisis DNA hewan bertubuh lunak itu, mereka dapat mengetahui proses evolusi yang membuat gurita sepanjang 60 sentimeter tersebut beradaptasi menjadi ahli penyamaran. Hasil riset mereka dilaporkan dalam Biological Journal of the Linnean Society edisi September 2010.
Tak berbeda dengan kerabatnya, gurita peniru juga mahir menyembunyikan diri dari predator lapar dengan membaurkan tubuhnya dengan lingkungan di sekelilingnya. Meski demikian, gurita ini kerap memilih memamerkan bakatnya menyamar daripada bersembunyi. Bukannya menenggelamkan diri di balik pasir, gurita peniru justru membuat dirinya makin mencolok bagi pemangsanya dengan memanfaatkan pola warna tubuh belang cokelat dan putih untuk meniru ikan sebelah, ikan lionfish, atau ular laut.
Manuver berani mati itu diperkirakan membantu Thaumoctopus mimicus membuat predatornya bingung atau ketakutan. Amat jarang ada binatang yang mengembangkan strategi pertahanan berisiko tinggi seperti itu sehingga mendorong para ilmuwan mengadakan riset genetik untuk meneliti kekuatan evolusioner yang memicu perilaku gurita peniru dan kerabatnya. Mereka memfokuskan penelitian pada kemampuan gurita yang hidup di perairan berlumpur itu untuk memipihkan lengan dan kepala serta berenang di sepanjang dasar laut, seperti seekor ikan sebelah, sambil terus-menerus memamerkan corak warna cokelat dan putih di sekujur tubuhnya.
Menggunakan penguraian fragmen DNA untuk menjabarkan konstruksi genealogi gurita peniru dan lebih dari 35 kerabatnya, para peneliti menemukan beberapa ciri kunci yang berkembang dalam garis keturunan gurita peniru. Nenek moyang T. mimicus secara bertahap mulai mengembangkan penggunaan corak warna cokelat dan putih yang mencolok dan memanfaatkannya sebagai strategi pertahanan sekunder untuk mengejutkan predator jika taktik kamuflasenya gagal.
Setelah mengembangkan pola warna, para leluhur gurita dari perairan Sulawesi dan Bali itu mulai mempelajari teknik berenang ikan sebelah yang berbentuk pipih dengan memanfaatkan lengan panjangnya untuk mendukung gerakan itu. Akhirnya, gurita peniru menggabungkan kedua bentuk adaptasi itu secara bersamaan. Pola warna yang mencolok dipamerkan ketika dia meniru ikan sebelah, baik ketika mencari makan yang jauh dari sarangnya maupun ketika beristirahat. Dalam istilah evolusioner, langkah terakhir ini merepresentasikan pergeseran yang amat riskan dalam strategi pertahanan.
"Beberapa gurita kerabat dekat T. mimicus menggunakan warna-warna kalem dan mekanisme kamuflase yang cukup sukses menyembunyikan mereka dari predator," kata Dr Christine Huffard, Marine Conservation Priorities Advisor di Conservation International Indonesia. "Mengapa T. mimicus justru bersikap provokatif, berulang kali mengabaikan kemampuan kamuflase yang diwarisinya dari nenek moyangnya serta memilih memamerkan pola warna baru yang mencolok?"
Huffard menduga seleksi alam membuktikan bahwa dengan bersikap nekat dan menonjolkan diri justru membantu T. mimicus bertahan hidup dan sukses bereproduksi dibanding nenek moyangnya yang lebih "pemalu." "Sampai akhirnya gurita peniru ini berkembang menjadi garis keturunan berbeda," katanya.
Para ilmuwan menduga beberapa kemungkinan untuk menjelaskan mengapa corak warna tegas itu menguntungkan. Warna mencolok itu mungkin mengelabui predator, membuat hewan pemangsa itu berpikir bahwa gurita di hadapannya adalah ikan sebelah beracun, semisal peacock sole (Pardachirus pavoninus) atau zebra sole (Zebrias spp.). Pewarnaan itu mungkin juga menyamarkan tubuh gurita terhadap dasar laut berpasir hitam dan putih, atau sebagai sinyal peringatan bahwa daging gurita peniru tidak enak.
"Penampilan T. mimicus ketika meniru ikan sebelah jauh dari sempurna, namun bentuk imitasi itu mungkin cukup untuk mengecoh predator di habitatnya di pusat biodiversitas laut dunia," kata Dr Healy Hamilton, Direktur Center of Applied Biodiversity Informatics di California Academy of Sciences. "Gurita-gurita ini dapat memanipulasi pola warna mereka sehingga mirip, bukan sama persis, dengan berbagai ikan sebelah, baik toksik maupun nontoksik, di wilayah itu. Ketika binatang pemangsa itu terkejut, gurita dapat melarikan diri."
Gurita peniru asal perairan Indonesia ini baru dideskripsikan oleh para ilmuwan pada 1998, sehingga tak banyak informasi yang diketahui tentang perilaku binatang tersebut. Riset mendatang akan difokuskan pada pengamatan gurita tersebut di alam, sehingga para ilmuwan dapat menemukan alasan mengapa spesies ini mengembangkan pewarnaan tegas dan lebih memahami untung rugi strategi mimikri tersebut.
0 Comments:
Posting Komentar